(*) Faculty member of International Relations Department, Universitas Mulawarman
“Politics is full of surprises” (Politik itu penuh kejutan) menjadi peribahasa yang sesuai untuk menggambarkan situasi politik Indonesia saat ini menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Baru-baru ini publik dikejutkan dengan keputusan Koalisi Perubahan, yang mengusung bakal calon presiden (bacapres) Anies Baswedan, untuk meminang Ketua Umum Partai Kesatuan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar–akrab dipanggil Cak Imin–sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres). Koalisi Perubahan ini awalnya terdiri dari Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Sabtu lalu, Anies-Cak Imin resmi dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai pasangan bacapres-bacawapres 2024.
Keputusan tersebut sontak memantik berbagai kontroversi. Keputusan sepihak Nasdem dan PKB untuk mendeklarasikan pasangan tersebut memunculkan berbagai analisis bahwa koalisi tersebut menjadi semakin rapuh, dan pada akhirnya akan bubar.
Terdapat dua pertimbangan politik utama Nasdem dan Anies dalam meminang Cak Imin.
Pertama, elektabilitas Anies di Jawa Timur–yang merupakan basis massa PKB–dan Jawa Tengah relatif rendah.
Meskipun elektabilitas AHY menurut berbagai survei selalu lebih tinggi dibandingkan Cak Imin, AHY dan Demokrat tidak memiliki basis massa NU dan Gusdurian (komunitas yang menggagumi pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4).
Jika poros Anies tetap memasangkannya dengan AHY, maka kemungkinan besar Anies akan kalah di Jawa Timur dan Jawa Tengah–provinsi dengan penduduk terbanyak ke-3 dan ke-2 setelah Jawa Barat.
Kedua, Anies masih kerap dianggap sebagai politikus yang sering memainkan isu identitas, terutama identitas agama, dalam politik.
Label politik identitas–yang lebih kepada konservatisme agama–yang melekat pada Anies kemungkinan hanya bisa “diredam” dengan memilih seorang cawapres dari kelompok NU yang cenderung moderat.
Memang, ada pula tokoh-tokoh lainnya yang juga memiliki pengaruh signifikan terhadap akar rumput NU dan Gusdurian, seperti Yenny Wahid, putri dari Gus Dur, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Namun, mereka menolak untuk mendampingi Anies.
Dari dua pertimbangan tersebut, memilih Cak Imin memang tampaknya jadi pilihan rasional. Meskipun kehilangan Demokrat, koalisi ini sekarang mendapatkan PKB.
Artikel Terkait
REFORMASI SKRIPSI
Membuka Pintu Digital Melalui Internet Pedesaan
KULIAH ATAU KERJA?
PERAN MEDSOS PADA PEMILU 2024: Merekat atau Memecah?
DEMOKRASI DI ERA TEKNOLOGI: Kampanye Digital dalam Pemilu 2024