SETIAP ada kesempatan ke desa, saya selalu berusaha mampir warung kopi. Ini kebiasaan lama.
Gara-garanya, ketika masih kelas dua SMA, saya sering diajak kakak ipar pulang kampung. Naik sepeda motor menuju desa di sudut kota.
Orang tua kakak punya warung kopi yang tak pernah sepi. Mau pagi, sore, atau pun malam selalu riuh.
Menunya selalu sama. Ada kopi hitam. Yang ini wajib. Campur jagung pula.
Paling riuh pagi menjelang petani berangkat ke sawah. Atau, malam hari.
Ketika SMA, warung tersebut masih riuh. Kita bisa mendengar perbincangan apa saja.
Tentang tetangga sakit, pengumuman pamerintah tentang penetapan harga dasar gabah kering giling (GKG), pupuk, dan lain-lain dari seorang menteri terkenal kala itu. Isu-isu dan gosip desa pun ikut dibahas pula.
Semua perbincangan mengalir. Tanpa moderator mereka berbincang hangat.
Tentu ada yang membayar _cash_ , ada pula yang mencatat. Tetapi semua berlangsung penuh kejujuran.
Kopi hitam sedikit berubah ketika kopi saset masuk kampung di tahun 1980an akhir.
Aneka minuman saset dipajang. Konsumen boleh memilih merk dan konten apa yang disukai.
Saya mengamati dengan serius warung-warung kopi di setiap ada kesempatan.
Pertama, perempuan bukanlah peserta dalam kehidupan kedai kopi, padahal mereka adalah pencipta dan pemimpin warung.
Seperti juga warung kopi mertua kakak. Hampir tak ada perempuan ikut "marung" atau "nongkrong".
Artikel Terkait
Kopi Kampung vs Kopi Saset
Relasi Kopi dengan Anak Kejang
Nektar Kopi Melawan Kerusakan Usus
Kopi, Ikhtiar Menunda Tua
Kopi, Budak, dan Multatuli