SUATU hari di tahun 2011.Sambil berjalan menuju toilet, saya menggoda staf editor yang sedang mengudap gorengan kulit ayam.
"Wuih enaknya...," kata saya sambil _njawil_ pundaknya."Ini Mas, kalau mau!" jawab dia.
Dan, saya pun bergegas ke toilet.
Lalu, ketika saya balik ke ruang editor, dia sudah tak ada.
Teman yang lain mengatakan, dia diantar ke rumah sakit. Lho sakit apa?
Teman sebangku mengatakan, dia mengeluh dadanya sakit.
Oleh beberapa teman diantar ke rumah sakit yang jaraknya kurang dari 200 meter dari kantor.
Ruang redaksi hening sejenak.
Belum genap 15 menit ada kabar teman saya yang hebat itu meninggal. "Tepat di _traffic light_ depan kantor dia mengeluh sambil memegang dadanya," kata pengantar telepon dari seberang.
Sesampai di rumah sakit, dokter mengatakan, teman saya sudah meninggal dunia.
Peristiwanya begitu cepat. Dari saya goda sambil menjawil pundaknya sampai meninggal dunia tak lebih 30 menit.
Teman saya yang lain menambahkan, sebelumnya almarhum baru saja minum merk K dua botol.
Dia wartawan muda. Spartan. Serba bisa. Semula wartawan di Salatiga, karena kehebatannya kariernya cepat, sampai akhirnya menjadi editor halaman satu.
Pernah bersama saya dan Sdr Widiartono (Harian Wawasan) meliput tsunami di Maumere dan Pulau Babi, Desember 1992.
Dan, ia penggemar olahraga tenis, tapi eninggal di usia produktif.
Artikel Terkait
Kopi, Rokok dan Ketagihan
Penemu Kopi Masuk 100 Top Dunia
Tyson, Kopi, dan Belanda
Revolusi Dimulai dari Meja Makan
Catatan Hendry Ch Bangun - Profesi kita dan ghibah