Ketika Puisi Memprovokasi

- Minggu, 30 April 2023 | 06:27 WIB
Ketika Puisi Memprovokasi (ft ist/Indonesiadaily.co.id)
Ketika Puisi Memprovokasi (ft ist/Indonesiadaily.co.id)

(Tanggapan atas tulisan Wina Armada tentang debat klasik estetika versus makna)

Oleh: Arthur John Horoni, Budayawan

Tulisan sobat Wina ikhwal puisi itu bukan perkara baru tapi tetap menarik dan mengundang perbincangan. Soal bentuk atau isi, estetis atawa substantif, pilihan kata, diksi, irama atau makna, menjadi wacana esei atau kritik sastra sejak, Angkatan 45, Gelanggang, Lekra, Manifes Kebudayaan/Angkatan 66, Puisi Tempe sampai ke puisi zaman now alias pujangga medsos...

Saya menulis puisi, kalau pakai istilah Medan: suka hatilah! Terserah orang mau bilang apa. Tak terperangkap dalam rumusan, aliran, dst, dst.

Tapi dari pengalaman panjang menikmati puisi, sebagai pembaca dan deklamator, redaktur sastra siaran radio swasta, kemudian menulis beberapa puisi, saya menandai puisi (lepas dari bentuk dan rumusan estetika), secara substantif/ maknawi senantiasa mewakili suara zamannya.

Terutama mencoba mencuatkan kepermukaan suara kawula yang bungkam. Dari sisi ini, puisi kemudian bisa dianggap memprovokasi. Bahkan dimasa orla dan orba distigmatisasi sebagai subversif.

Baca Juga: Hari Puisi Nasional, Mengulik Debat Klasik : Estetika Versus Makna

Lekra menggadang-gadangnya sebagai realisme sosialisasi, sedangkan pihak yang lain mengagungkan humanisme universal. Persamaannya, kedua aliran itu dalam pandangan penguasa yang berbeda, dianggap memprovokasi atawa subversif. Karenanya "ditakuti" penguasa yang mengutamakan stabilitas politik.

Ada pengalaman yang bagi saya menggelitik: pada masa jadi pelajar SMA di Manado tahun 60-an, ketika mau mendeklamasikan sajak Krawang-Bekasi, Chairil Anwar, panitia menyensor dulu ungkapan, menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Syahrir.

Kita paham, Bung Karno menganggap Bung Hatta dan Bung Syahrir sebagai lawan politiknya. Celakanya, sastra kena getahnya, puisi mesti disunat.

 

Tersebutlah, tahun 1973, saya pindah dari Surabaya ke Jakarta, menjadi penyiar Radio ARH Jakarta. Menjelang peristiwa 15 Januari 1974, untuk mendukung gerakan mahasiswa yang melakukan koreksi terhadap rezim orba, kami menyampaikannya melalui puisi.

Teman-teman menugaskan saya membaca puisi-puisi Taufiq Ismail dari kumpulan Tirani dan Benteng, direkam dan disiarkan berulang-ulang. Akibatnya sejak 16 Januari 1974 Radio ARH dibredel/ditutup tak boleh siaran.

Untunglah Radio BBC siaran Indonesia dari London menyiarkan nasib Radio ARH, dan sepekan kemudian boleh siaran lagi.

Halaman:

Editor: Hery FR

Artikel Terkait

Terkini

METAFORA BUNGA MENJELANG PEMILU

Minggu, 24 September 2023 | 07:07 WIB

Konsistensi dalam Branding Politik

Kamis, 14 September 2023 | 08:23 WIB

DTKS yang Responsif

Senin, 11 September 2023 | 08:59 WIB

PARPOL DAN PENDIDIKAN POLITIK

Minggu, 10 September 2023 | 13:13 WIB

PEMILU 2024: Menjaring Caleg Berkualitas

Jumat, 8 September 2023 | 07:52 WIB

MONEY POLITIC: Ancaman Pemilu 2024

Kamis, 7 September 2023 | 07:53 WIB

POLITIK IDENTITAS: Kekuatan atau Kelemahan?

Rabu, 6 September 2023 | 11:46 WIB

PEMILIH CERDAS, PEMIMPIN BERKUALITAS

Selasa, 5 September 2023 | 20:03 WIB

PERAN MEDSOS PADA PEMILU 2024: Merekat atau Memecah?

Minggu, 3 September 2023 | 16:22 WIB

KULIAH ATAU KERJA?

Jumat, 1 September 2023 | 09:18 WIB

Membuka Pintu Digital Melalui Internet Pedesaan

Jumat, 1 September 2023 | 09:12 WIB

REFORMASI SKRIPSI

Kamis, 31 Agustus 2023 | 09:28 WIB

Kekuatan Data: Dukcapil dan Kualitas Data Pemilih

Kamis, 24 Agustus 2023 | 08:17 WIB
X