ANTARA UJIAN KEIMANAN DAN PERGULATAN SAINSTIFIK
Oleh: Prof. Adrians Chaththab
I Iman tumbuh dari hati; sains tumbuh dari otak; sementara amal lahir dari akumulasi dan aktualisasi dari keduanya yakni iman dan ilmu yang bersandar pada kekuatan otot. Namun ketiganya – tanpa reserve – pada akhirnya harus tunduk pada kehendak/iradat Allah. Statemen di atas bila dikaitkan dengan pandemi covid 19, hari demi hari umat ini tersayat hatinya, kok pademi covid 19 belum ada tanda-tanda reda; sementara korbannya sudah jutaan. Pada waktu yang sama, sesuatu yang diidamkan masyarakat adalah dilarangnya pulang kampung atau “ mudik “ berlebaran bersama sanak saudara. Apa sebetulnya yang terjadi; what happened in the world ? Apa dampaknya terhadap beridil fitri tahun ini. Adalah jawaban pertanyaan yang selalu ditunggu masyarakat. Uraiannya disuguhkan sebagai berikut. II Di dalam Islam yang sesungguhnya,ada 3 pondasi beragama yang satu sama lain saling terkait; bukan berdiri sendiri. Ketiga tiang ini dapat dijadikan alat ukur kesuksesan dalam hidup. Tiga pondasi itu bukan bekerja sendiri-sendiri; akan tetapi merupakan 3 in 1 ( baca: threein one ) dalam kehidupan yangseharusnya tidak ada pilihan di sini karena satu sama lain bertaut; bertali berkulindan yang bila meninggalkan yang satu, maka yang lain kehilangan “ tajinya “; tidak mempunyai powerment dalam menata hidup, baik untuk dunia maupun di akherat.Orang-orang atheis – paling tidak sekular – akan membantah keberadaan 3 tiangatau pondasi hidup ini. Bagi mereka hanya ada 2 in 1 ( two in one) . Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek) dan karya nyata/ amal saja yang menjadi ukuran. Iman, bagi mereka peripheral sifatdan bahkan mungkin “ nothing “. Terambil dari makna sekular itu sendiri adalah di sini atau kedisinian dalam arti hanya dunia saja yang diakuinya, sementara masalah iman dan kehidupan akherat, tidak ada. Maka orang yang berpaham sekularisme akan menjadikan dunia segala- galamya. Akhir hidup manusia hanyalahh sebatas dunia dan selesai; tidak ada akherat dan yang ghaib-ghaib lainnya . Sebaliknya bagi seorang muslim, keberadaan iman yang sangat fundamental yang berfungsi menggerakan jasmani ke arah mana ia maui bagaikan “ dalang dengan wayang “. Tubuh ini tidak bergerak, kalau tidak ada penggeraknya. Dengan demkian, sebagai alat ukur apakah ia beriman atau mukmin atau tidak, maka “ dalang “ inilah penentunya. Sehubungan dengan itu, ada 6 rukun iman manakala ke 6 itu tidak diimani oleh seseorang, maka ia belum dapat dikatakan mukmin. Berbarengan dengan itu, ia terlebih dahulu mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai bukti ia telah muslim.Itulah yang membedakan antara muslim yang mukmin dengan kafir, maka keimanan adalah subtantif sekali; namun ia tidak berdiri sendiri. Artinya, iman akan bermaknabila ia didukung oleh ilmu dan diikuti dengan karya nyata yang disebut amal perbuatan yang implementatif. Adalah seorang dikatakan percaya ( baca: beriman)dengan Allah sebagai penciptanya, setelah mengakui dan meyakini hal-hal tersebut. Seseorang yang mempersekutukan Tuhan dengan menyembah selainNya, maka ketika itu iadisebut “ kafir”, karena hatinya menolak rukun Iman yang enam. Selanjutnya, ketika sesorang yakin bahwa Allah penciptanya, maka ia harus tunduk kepadaNya sebagai konsekwensi imannya dalam bentukpengabdiandan beramal sesuai petunjukNya: “ Tidak Aku ciptakan jindan manusia, kecuali untuk mengabdi kepadaKu” ( wa ma khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’buduni: al-Ayat). Jadi konsekwensi keberimanan seseorang harus “ dibayar tunai” dengan ibadah dan amal shaleh kepadaNya. Beramal yang benarharus berbasis iman dan ilmu; bukan dikendalikan oleh ilmu dan sains ( iptek ) yang “liar” yang tidak bertanggung jawab sebagaimana didtuntunkan oleh Nabi SAW. : “ Man arada al-dunya, fa ‘alaihi bi al-‘ilmi wa man arad la al-akhirah fa ‘alaihi bi al-‘ilmi waman aradahuma fa ‘alaihima bi al’ilmi”.Makanya seorang muslim dimulai dari pematrian dirinya dengan dua kalimah syahadat: Asyhadu anla illaha ‘llah wa asyhadu anna Muhamadan rasul Allah “yang dengan penegakan 4 pilar lainnya.Kemudian, ia diminta untuk menegakan rukun Iman yang enam dan rukunIslam yang lima itu dan berbuat ihsan sebagai tanggung jawab keberimanan dan keberislaman dengan pengejawantahannya sebagai betikut: “ an ta’buda Allah ka annaka tarahu, fa inlam takun tarahu , fa Innhu yaraka” ( menyembahNya seolah-olah engkau melihatNya; jika kamu tak dapat melihatNya; Ia pasti meneropongmu ( baca: menguntitmu dengan “CC. TVNya” serta radarnya. Jadi menjadi seoramg muslim yang baik harus beriman, berilmu dan beramal (3 in 1). Dalam ungkapan lain para Hukama’ menilainya sbb.:“ ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah; iman tanpa didasari ilmu ia akan buta; amal tanpa iman, ia akan goyah/rapuh”. Sudah menjadi rahasia umum bahwacovid 19 mewabah sudah hampir 2 tahun; namun belum ada tanda-tanda akan berakhir. Saking hebat pandeminya, sulit saintis di bidang medis memberi kepastian tentang diri virus ini yang selalu “ berubah wajah dan penampilan”; hari ini lain, besok beda lagi. Perdebatan para saintis bermula dari apakah ia virus atau panyakit lain. Tidak mengherankankalauvaksinnya berubah-ubah pula. III Pada covid 19 ini, tampak sekali perdebatan dua wilayah yang berjauhan letak dan posisinya yakni wilayah imaniyang terletak di hati sebagai hidayah dari Allah yang sudah “ given “ dengan wilayah saintifik yang empirik sebagai buah hasil penelitian. Keduanya akan berefek pada pengimplementasian aturan atau ajakan pem.erintah dalammematuhi atau menolaknya yang merupakan amalan langsung ( direct action). Karena konklusinya tidak tuntas dalam menyelesaikanmasalah covid 19, maka memunculkan pertanyaan besar ( grand question ): covid 19 itu penyakit atau virus ? Ini wilayah garap para dokter/medis. Untuk diketahui bahwa ilmu kedokteran termasuk ekzakta dan penemuannya pasti dan kuantitatif. Jadi, kalau covid 19 itu virus, kenapa anti virusnya tidak ditemukan secara pasti; akan tetapi selalu berubah-ubah. Seterusnya, kalau ia penyakit, kenapa pula tidak ditemukan obatnya yang lebih pasti; jangan hanya dugaan-dugaan saja. Di ketika sains medis ragu menjawabnya, agaknya wilayah teologis menawarkan dan tidak bisa dihindari dan ditawar bagi umat beragama yang menyerahkan kepada Allah bagaimana sesungguhnya covid 19 ini dengan asumsi bahwa covid adalah makhluk Allah pasti ada secara teologis pemecahannya. Dengan mengutip ayat:” idza arada syai’an an yaqula kun fayakun” ( bila Ia menghendaki sesuatu, maka cukup dengan kata “kun”, maka jadilahdan likulli daindawa’illsla al-maut “ ( setiap penyakit ada obatnya; kecuali mati ). Di dalam ajaran teologi ada yang dinamakan kekuasaan mutlak Tuhan; keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu adil dan bérkuasa, maka Tuhan bisa saja berbuat sekehendakNya di bawah rambu-rambu keadilan. Agaknya iradat Tuhan berada dalam ruang keadilan dan kekuasaaNya. Maka Ia turunkan bala, musibah sebagai ujian atau peringatan dan teguran maupun azab bila Dia perlukan.Ingat ayat Alqur’an yang berbunyi: “ belum pernah Tuhan menurunkan bala/musibah kalau umatini tidak berbuat zalim; dan peringatan atau teguran Allah itu bertujuan agar umat kembali ke jalan yang benar ( baca: Alam yarau kam ahlaknaqabla min al-qurun annahum ilaihim la yarji’un; QS, 39:31) Kebijakan Allah itu terletak pada bahwa sebelum umatnya diberi peringatan atau musibah didahului dengan “ pengumuman “ . Misalnya bahwa musibah itu bisa saja Allah berikan merata; dalam arti yang salah kena dan yang sholeh pun kena. FirmanNya: ingat bah musibah itu tidak ditimpakan kepada yang zalim saja. Oleh sebab itu, diserukan kepada seluruh umat agar secara kolektif memerangi kezaliman. Membiarkan segelintir orang berarti yang lain ikut atau setuju dengan kebatilan. Bila kezaliman menurut Allah sudah sampai ke puncaknya; baru musibsh itu ditimpakan. Ketahuilah bahwa sehebat apapun ilmu manusia yang dinilaiNyahanya setetes embun dibandingkan dengan lautan ilmu Allah: “qul lau kana al-bahru midada likalimati rabbi lanafidza al-bahru qabla an tanfidza kalimatu rabbi wa lau ji’na bi mitslihi madada ( QS, 18:109 ).” Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat Tuhanku, sungguh habislah air lautan itu sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku; meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula”. Sehebat apapun ilmu manusia, bisa dipatahkan Allah dengan” 1 kata saja yakni kun fa yakun “ selesai dan tuntaslah semuanya.Lihat saja musibah besar di beberapa negara; diJepang dengan tsunaminya. Ilmuan Jepang hanya bisa memprediksi; akan tetapi kapan jatuh temponya adalah di bawah iradah Allah. Di Meksiko gempa bumi; di Cina semburan air raksasa yang mengendalikannya memerlukan ilmu ilmu canggih. Tapi cina angkat topi dan “ lempar handuk “ tanda tak kuasa menanganinya. Ketika ini, wilayah teologis harus masuk menyelesaikan dan mendamaikan. Peringatan yang disampaikan Allah dengan bijak sekali dengan kalimat: hua ansyaakum wa ista’marakum fi ha... tapi janji ini dimungkiri oleh manusia, maka lihatlah akibatnya sebagaimana Ia menimpakan musibah tersebut di atas. Nyata sekali, bagi ilmu manusia sulit, akan tetapi bagi ilmu dan iradah Tuhan sangat mudah. Dengan demiķian, wilayah iman dapat memberi jawaban dari pergulatan iman dengan sainstifik. Dengan ungkapan lain bahwa bila covid 19, tidak tembus oleh otak manusia ( sains ), maka berilah ruang kepada iman untuk memberi jawaban. Ambil contoh musibah topan di zaman Nabi Nuh; pandemi penyalit spiiis di masa Nabi Luth; paceklik besar di waktu kenabian Ya’kub dan Yusuf membuktikan bahwa malapetaka itu datang tidak ujuk-ujuk. Ada sebab besar alias “ dosa tak berampun “ umat manusia yang memerlukan terapi khusus. Akan tetapi kenapa covid 19 pandeminya mendunia ( worldly pandemic); apakah umat sedunia ini sudah memasuki taraf kufur yang ekstra ordinary? Pada dasarnya Tuhan manusia atau semua makhluk adalah Yang Maha Pencipta yakni Allah. Yang berbeda antara satu agama dengan agama lain untuk mengkultuskan Tuhannya adalah cara/thariqah saja yang tidak sama. Dilihat dari agama manapun bahwa merusak alam akan mendatangkan musibah. Islam mengakui hal itu berangkat dari ayat Alqur’an yang berbunyi: “zhohara al-fasad fi al-barri wa al-bahri bima kasabat aidi al-nas...la’alahum yarji’un “. Salah satu sebab Tuhan memberikan perimgatan adalah ulah mengekploitasi alam daratan dan lautan yang melampaui batas menyebabkan ekosistem terganggu, muncul bencana alam. Supaya iradat buruk Tuhan tidak ditimpanNya, maka kembalilah ke ajaran agama secara benar. Dalam kaitannya dengan lebaran, Pandemi covid 19 yang belum tahu kapan usainya, maka menikmati lebaran tahun ini cukup di rumah saja ( lock down ) dan stay at hum dengan banyak istighfar, merenung dan menginsafi kesalahan , keteledoran maupun dosasemoga dosa-dosa hambaNya diampuni Allah karena Ia arham al-rahimin dan ghafur al-rahim( Maha Pengasih dan Maha Pengampun lagi Penyayang ). IV Menikmati Lebaran dengan lock down dan stay at home tentu dengan banyak hikmah. Di samping banyak merenung dan mencari hikmah di balik pandemi covid ini. Misalnya, ketika tuntutan keberimanan tidak bersambung secara pas dan bersinergi dengan sainstifik, maka tidakada pilihan kecuali “mempersandingkan “ keduanya dengan tekad mengamalkannya dalam kehidupan. Menularkan dan ditulari covid tidak ada yang mulia; sebaliknya tidak menularkan dan tidak ditulari adalah pilihan yang mulia. Oleh sebab itu, menahan diri untuk tidak berpergian termasuk mudikadalah pilihan yang bijak yang berarti ketika orang bijak telah melakukan: la dharara wa la dhirara ( tidak memberi mudharat dan tidak dimudharati ).Demikian juga: al-dharuarat muqaddam‘ala al-jalbil al-masholih ( mempertimbangkan efek negatif lebih baik didahulukan dari kemashlahatannya. Justetu, menikmati lebaran tahun ini di rumah saja adalahsalah satu upaya memotong penularan pandemi covid 19. Kemudian ada makna yang tersirat di dalamnya bahwa bersilaturrahmi secara internal lebih utama dari siraturrahmi ekstetnal yg penuhrisiko. Allahu a’lam