Ada Apa Di Balik Ibadah, Politik. Adakah Ibadah Politik ?

- Selasa, 18 Mei 2021 | 08:27 WIB

Oleh Prof. Adrians Chaththab

APA  yang seharus (dassollen) bahwa  ibadah adalah hubungan vertikal antara hamba/manusia dengan Tuhan yang agama mengistilahkannya dengan hablun minnallah; makanya sangat sepesifik, privasi dan amalan hati yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Sementara yang dilakukan  secara empirik dan kenyataaan ( dassein), biasanya diwujudkan dalsm bentuk horizontal atau dalam bahasa agama disebut hablun minannas).

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan gejala baru. Domain agama dimasuki domain politik. Misalnya haji bermuataan politik, lebaran bernada politik, lebih unik lagi bahwa takbiran bernuansa politik. Apa yang tersebu terakhir menjurus ke demokrasi atau moderasi atau juga toleransi atau dalam mendayung biduk ke hilir yakni penyatuan agama-agama dengan asumsi semua agama sama.

Mungkin itu muara dan terminal akhirnya.  Secara lahiriyah kelihatan tidak apa-apa;  akan tetapi bila dirunut ke akar atau hulunya yang keruh, jangan diharap hilirnya akan jernih. Apa sesungguhnya yang terjadi dalam penglolaan anak bangsa dalam kaitannya dengan nasionaiisme agamais dan agamawan yang nasionalistis.

Agak kenyataan-kenyataan seperti diteropong dengan lensa miskroskop secara dekat; dan membahasnya lebih jauh, agar anak bangsa ini tidak gagal paham. 

Memang dan diakui bahwa agama punya wilayah sendiri; begitu juga apa yang disinyalir kemanusiaan ada domain sendiri pula. Kadang kala keduanya berdiri di atas tiangnya sendiri-sendiri; akan tetapi pada satu ketika keduanya dapat bertemu di ruang publik. Keduanya dapat menyatu tanpa merusak sendi masing-masing; bisà keduanya “ selapik seketiduran” dan bisa juga “ sama-sama tidur dengan ranjang yang berbeda”. Jadi jarak antara keduanya diatur oleh konstitusi negara; yang agama diatur oleh konstitusi Allah dan Nabi, begitu juga hal yang sama ada pada agama selain Islam dapat menyesuaikan.

Yang kedua dalam kaitan berbangsa dan bernegara juga ada tata aturan konstitusionalnya yakni Undang Dasar 1945 dengan segala turunannya. Dalam ibadah, shalat adalah hak preogatif seseorang yang didahuli dengan seruan atau pengumuman langsung dari Allah melalui lidah si mu’adzin yang disebut adzan. Dulu, adzan dilantunkan dengan suara lantang di atas menara  oleh Bilal ibnRabbah. Nah, sekarang karena teknologi sudah canggih disuarakan pakai microfon. Lalu, karena keasyikan, suara lantang dengan mikrofon itu dapat mengganggu tetangga yang tidak seiman. Maka, di sinilah masalahnya; shalat yang wajib ‘ain tidak bisa dibantah; akan tetapi adzan  yang keras menyayat kalbu non muslim perlu di jaga; bukan suaranya bisik-bisik saja, akan dilantunkan dengan volume sederhana.

Disilah letaknya toleransi dalam beragama.Lain halnya dengan membolehkan  umat Islam, satu kali shalat di mesjid dan kali yang di kuil stau pura. Atau sebaliknya, umat Hindu sembajyang di kuil dan kali yang lain sembahyangnya di mesjid atau di gereja. Yang model begini tidak dapat dikatakan moderasi atau demokrasi , apalagi toleransi.

Gaya seperti ini nama mengarah pada pemahaman bahwa semua  agama sama dan dapat dilaksanakan dimana saja. Kalau ada fatwa  yang demikian -  mungkin – mereka merujuk pada masa-masa Islam awaldan kenyataan mesjid Ayasofia yang dulunya adalah  gereja.

Untuk kondisi sekarang, hal itu tidak boleh dilakukan. Dalam kajian hukum Islam disebut: الضرورة تبيح المحذورة      / darurat   dapat mermbolehkan sesuatu yang dilarang.

Kondisi seperti di atas disebut juga kondisi tidak normal. Dan kondisi perang yang tidak tempat shalat selain itu, maka darurat dapat menyalahi hukum asalnya. Hal itu kondisional sekali, tidak berlalu untuk selamanya. Còntoh lain adalah memakan obat yang zatnya haram, karena itulah  satu-satu obat, maka dibolehkan.       Lalu, bagaimana dengan seorang muslim atau secara berjama’ah ikut bernyanyi ketika lebaran Natal?. Bernyanyi pada lebaran Natal bagi umat Nasrani adalah ibadah, maka orang Islam tidak boleh mengikuti acara itu.

Sesuai dengan teguran Allah dalam Durat al’-Kafirun:  قل يا ايها الكافرونلا اعبد ما تعبدون ولا انتم عابدون ما العبد  ، لكم دينكم ولا دين. " saya tidak akan menyembah Tuhsnmu; sebaliknya kamu juga tidak akan.menyrembah Tuha saya, bagimu agamudan.bagi saya agama saya”. Bila ikut juga, itu namanya : من تشبه بقوم فهو منهم   barangsiapa yang memyerupai ( ikut-ikutan) , maka afalahbahagian dari mereka itu.

Lalu, bagaimana dengan non muslim ikut merayakan idill Fitri dan  hari lainnya?  Lebih dulu harus dipisahkan mana yang ibadah dan mana yang ukhuwah basyariyah ( humanitas ).

Halaman:

Editor: Red- Indonesiadaily

Terkini

Bisnis, Konflik Agraria, dan Kemiskinan

Selasa, 3 Oktober 2023 | 08:07 WIB

METAFORA BUNGA MENJELANG PEMILU

Minggu, 24 September 2023 | 07:07 WIB

Konsistensi dalam Branding Politik

Kamis, 14 September 2023 | 08:23 WIB

DTKS yang Responsif

Senin, 11 September 2023 | 08:59 WIB

PARPOL DAN PENDIDIKAN POLITIK

Minggu, 10 September 2023 | 13:13 WIB

PEMILU 2024: Menjaring Caleg Berkualitas

Jumat, 8 September 2023 | 07:52 WIB

MONEY POLITIC: Ancaman Pemilu 2024

Kamis, 7 September 2023 | 07:53 WIB

POLITIK IDENTITAS: Kekuatan atau Kelemahan?

Rabu, 6 September 2023 | 11:46 WIB

PEMILIH CERDAS, PEMIMPIN BERKUALITAS

Selasa, 5 September 2023 | 20:03 WIB

PERAN MEDSOS PADA PEMILU 2024: Merekat atau Memecah?

Minggu, 3 September 2023 | 16:22 WIB

KULIAH ATAU KERJA?

Jumat, 1 September 2023 | 09:18 WIB

Membuka Pintu Digital Melalui Internet Pedesaan

Jumat, 1 September 2023 | 09:12 WIB

REFORMASI SKRIPSI

Kamis, 31 Agustus 2023 | 09:28 WIB
X