KPK Bagaikan "Si Bungsu yang Mengganggu"

- Sabtu, 22 Mei 2021 | 09:46 WIB

Oleh: Adrians Chaththab

SEMENJAK-kelahirannya,  “si Bungsu KPK” tak pernah sepi dari sorotan dan pergunjingan, baik suara positif maupun nada negatif yang satu pihak menilainya sebagai penguatan institusi anti risywah itu; namun pihak sebelah menilainya sebagai pelemahan yang testruktur.

Jadinya, KPK bagaikan “kue bika” yang atas dan bawah dibakar oleh api tanpa henti. Sesuai dengan tupoksinya, sudah banyak yang dibui atau disanrika di Lembaga Pemasyarakatan  karena terbukti secara sah menilap dan telah menyelewengkan duit negara baik individual maupun secara berjama”ah. Efeknya lahir 2 kubu nitizen :

1) memuji keberhasilan KPK;

2) group yamg mencibir karena operasinya menjadi semakin sempit dan peluang untuk korup semakin payah dan tetutupBpintunya – mungkin – terbuka pintu lain. Bukan tuduhan kata nitizen; nyatanya perampas uang negara masih banyak yang “ berseMbunyi di balik tirai kekuasaan atau pandai “berminyak air”.

Kelompok kedua inilah yang tak hentinya berpikir siang malam bagaimana KPK  secepatnya menemui ajalnya supaya wilayah operasinya “ menjanjikan” lagi.

Akhir-akhir ini dalam suasana demikian berakhir kepemimpinan KPK lama yang mau tak mau, harus diganti dengan pemimpin baru yang masyarakat berharap sangat agar tajinya lebih tajam lagi, karena dengan Ketua Baru tentulah diikuti dengan gaya baru yang bisa mematikan tipu licik calon koruptor. Begitu juga masyarakat berharap besar bahwa suntikan darah segar yang memeberi semangat baru yang dalam otaknya sudah tergambar foto-foto  calon narapidana yang akan dibidiknya.

Aneh bin ajaib dugaan masyarakat dan penggiat anti korupsi agak sedikit meleset. Belum dapat menangkap mangsanya;  pegawai dan pelaksana di lapangan yang selama ini dipandang kredibel, suasana berubah dengan terjadinya  testing ulang “retest second by disign” yang diharapkan menambah powerment lembaga “kesayangan rakyat” ini, ternyata hasilnya  menonaktifkan  pemburu koruptor itu yang tidak tanggung-tanggung pula jumlahnya yakni 75 personal berpengalaman.

Memang ada yang besuara bahwa non aktif, bukan berarti  berehenti. Inilah bahasa yang dipoles sehingga diharapkan tidak membuat gaduh masyarakat yang pengetahuan bahasa dan kukum mereka tidak bodoh-bodoh amat. Pertanyaan sederhana mereka sulit menjawabnya: bagaimana caranya kasus-kasus besar yang sedang  diselidik dan disidik terus diburu, sementara pemburunya non aktif alias tidak boleh melakukan tugas. Apakah yang baru diangkat tahu permasalahan atau mulai dari nol lagi meminjam istillah petugas pom bensin. Ada juga yang berkomentar bahwa tanpa 75 orang itu, KPK akan kiamat.

Berdasarkan logika sederhana saja bagi orang berkecimpung di ASN senior akan mengatakan bahwa menyerahkan urusan mendidik ke guru baru atau dosen baru diangkat sulit; paling tidak memerlukan waktu,  tidak “ kunfayakun” sebagaimana ilmu Tuhan. Lalu pertanyaan rakyat berikutnya adalah kok  sekarang waktunya di sa’at pengangkatan pegawai negeri belum ada dari pihak Pemerintah.

Memang sulit menjawab; kecuali teka-teki yang dipandang lucu; tapi nyatanya tidak lucu; tidak ekstra ordinary. Lembaga anti risywah itu menjadi geger dan mata masyarakat membelalak melihatnya dengan segudang pertanyaan di hati masing-masing:

“what happned and wha tprobleme dorwhat the nextaction? “, menarik dan perlu ada pada uraiannya berikut ini.

Dalam kaitan dengan judul di atas, tahun 2010 penulis semakin tegas kesimpulan dan kebenarannya apa yang tergores di otak plato dan ia menginformasikan kepada murid-muridnya bahwa manusia itu zoonpoliticon. Pemikiran jenius Plato, tambah direnungkan menjadikan otak kita terusik. Kenapa? Ungkapan singkat dan padat itu, bila dihadapkan dengan persiteruan antara Polri, Kejaksaan Agung, Pengadilan dan KPK yang diperuncing tajam dan menyayat oleh pencundang#hukum (blacklawyer) di negeri ini, tidak terbantahkan lagi.

Zoonpoliticon secara etimologi berarti manusia adalah “binatang” yang saling berkepentingan. Karena kepentingan baik secara individual maupun secara institusional manusia dapat saling membantu dan pada giliran yang lain dapat pula saling mengalahkan. Kenyataan seperti inilah, agaknya yang membuat Ibnu Taimiyyah, pemikir politik Islam, melegitimasi ucapan Plato sebagai kelanjutan dari sepak terjang manusia seperti zoonpoliticon, agar tersalurkan dengan baik memerlukan institusi yang disebut pemerintahan.

Halaman:

Editor: Red- Indonesiadaily

Tags

Terkini

Petugas Pajak dalam Sejarah

Jumat, 31 Maret 2023 | 03:32 WIB

Algoritma Secangkir Kopi

Kamis, 30 Maret 2023 | 03:24 WIB

Demokrasi di Warung Kopi

Rabu, 29 Maret 2023 | 02:46 WIB

Kopi, Budak, dan Multatuli

Selasa, 28 Maret 2023 | 03:56 WIB

Latte, Elon Musk, dan Repertoar Barista

Jumat, 24 Maret 2023 | 03:27 WIB

Mengunjungi Magetan, Catatan Hendry Ch Bangun

Minggu, 19 Maret 2023 | 09:23 WIB

Lelaki Maskulin Beraroma Sexy

Selasa, 14 Maret 2023 | 07:27 WIB

Kopi, Dunia Fantasi Lelaki

Minggu, 12 Maret 2023 | 10:15 WIB

Blackpink, Kaum Muda dan Nasionalisme

Sabtu, 11 Maret 2023 | 21:17 WIB

Resep Kopi Lelaki Microwave

Kamis, 9 Maret 2023 | 08:35 WIB

Romansa Wanita, Kopi dan Coklat

Rabu, 8 Maret 2023 | 07:11 WIB

Kopi, Anggur Para Sufi

Selasa, 7 Maret 2023 | 07:03 WIB
X