ADA rasa bangga ketika saya menghadiri promosi doktor Firdaus Komar, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Selatan, di Universitas Sriwijaya, Palembang, 4 Januari. Senang karena di tengah kesibukannya mengurus organisasi, mengelola media siber, menjadi kepala keluarga, Firdaus dapat mengikuti kuliah, menyusun disertasi, dan akhirnya menjalani sidang terbuka di depan sejumlah guru besar dan penguji bergelar doktor dan dinobatkan sebagai Doktor Ilmu Administrasi Ke-3 di Unsri.
Disertasinya berjudul “Pengelolaan Program Uji Kompetensi Wartawan di Lembaga Penguji#PWI Pusat (Studi Dalam Rangka Mencari Model Pengelolaan Program UKW yang Efektif untuk Memenuhi Standar Kompetensi Wartawan Indonesia”. Setelah prosesi yang berlangsung sekitar 2 jam, Firdaus lulus dengan Pujian. Di Unsri ini juga, boss media Sumatera Ekspres, Muslimin, Desember lalu, meraih gelar doktor bidang hukum. Mengagumkan.
Saya juga pernah menghadiri promosi doktor Iskandar Zulkarnain, pimpinan Lampung Post, di UIN Raden Intan, di Bandar Lampung, beberapa tahun lalu, ketika masih menjabat Sekjen#PWI Pusat bersama sejumlah pengurus. Saat ini Iskandar menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan#PWI Lampung dan masih aktif terlibat dalam mengelola medianya.
Sebenarnya sudah banyak pengurus atau anggota#PWI yang bergelar doktor. Tahun lalu saya mencatat ada tiga orang yang lulus dalam ujian disertasi. Yaitu Eko Pamuji (Jatim), Naskha Naban (Sulbar), dan Suprapto (PWI Pusat). Sebelum itu sudah ada Dedi Syahputra (Sumut), Wahyu Rudanto (Jateng), Naungan Harahap (Bandung), Rajab Ritonga, Artini (Jakarta), Eka Putra (Riau), Susilastuti (Yogyakarta). Sekadar contoh, karena mungkin saya lupa mencatat. Ketika saya masih aktif di Kompas, ada sejumlah staf redaksi yang bergelar doktor. Sebut saja misalnya Emanuel Subangun, Parakitri Tahi Simbolon, Ninok Leksono, Mohamad Subhan.
Di samping mereka yang meraih gelar doktor melalui proses akademis, ada pentolan wartawan yang mendapat gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa), seperti Jakob Oetama yang diberikan oleh Universitas Gajah Mada dan Universitas Negeri Sebelas Maret, dan Rosihan Anwar yang diberikan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kedua tokoh ini terlalu sibuk untuk masuk ruang kuliah, tetapi diberikan penghargaan oleh kalangan intelektual kampus karena peran, kinerja, performa mereka di khazanah pers Tanah Air, pantas dihargai.
Sebagai praktisi pers, Rosihan Anwar dan Jakob Oetama, sudah menunjukkan kinerja luar biasa, menjadi teladan bagi wartawan lintas generasi. Bahkan mungkin sampai sekarang sulit mencari tandingannya.
***
Yang menarik dari promosi Firdaus adalah munculnya kata “integritas” dari dua guru besar yang menjadi penguji terhadap promovendus. Sederhana pertanyaannya, “Bagaimana agar wartawan yang lulus dalam uji kompetensi itu terjaga integritasnya?”. Lalu, “Apakah UKW yang terlaksana dengan baik menjamin terciptanya wartawan berintegritas?.”
Sungguh ini pertanyaan menohok, masuk ke jantung persoalan, yang sudah lama disuarakan di masyarakat, bahkan sampai di ruang rapat kerja#Dewan Pers dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak yang heran dan bertanya, kok semakin banyak wartawan memiliki kompetensi, tetapi pemberitaan di media massa khususnya media siber, kok malah menjadi-jadi?